Langsung ke konten utama

Masa Putih Abu

Nama aku Syilfa Nurcahya M., dan ini cerita tentang masa SMA-ku—masa yang awalnya terasa asing, tapi lama-lama justru jadi bagian hidup yang nggak bakal pernah aku lupain.

Awal masuk SMA, semuanya terasa begitu baru dan jujur… sedikit menakutkan. Bukan soal pelajarannya, tapi suasananya. Gedungnya lebih besar, muridnya lebih banyak, dan semuanya seperti punya dunianya sendiri. Sementara aku? Aku cuma cewek yang waktu itu agak pemalu, nggak terlalu suka keramaian, dan lebih nyaman diem daripada harus memulai obrolan.

Hari pertama sekolah, langkahku terasa berat. Rasanya cuma pengen ngelewatin hari itu tanpa bikin hal-hal aneh kayak salah masuk kelas atau jatuhin sesuatu di depan umum — itu udah jadi ketakutan terbesarku. Pokoknya, aku cuma pengen pulang secepet mungkin.

Tapi lucunya, justru di hari pertama itu ada sesuatu atau seseorang yang bikin aku sedikit lebih tenang.

Aku duduk di kelas baru, masih kikuk, masih bingung harus ngobrol sama siapa. Dan di tengah semua rasa canggung itu, tanpa sengaja mataku berhenti pada seorang laki-laki. Kami duduk di ruangan yang sama, cuma beda beberapa kursi. Nggak ada hal keren yang terjadi, cuma tatapan sekilas… tapi buat alasan yang sampai sekarang pun aku nggak ngerti, tatapan itu bikin aku lebih rileks.

Dia senyum kecil. Sederhana. Tapi entah kenapa kayak bilang,

“Tenang, kamu bakal baik-baik aja.”

Dua hari setelah itu, semuanya berubah. Kami dipisah kelas waktu pembagian ulang. Konyolnya, kami bahkan belum sempat kenalan. Tapi tetap saja, rasanya kayak kehilangan sesuatu. Kayak kamu baru nemu tempat nyaman, terus tempat itu tiba-tiba ditutup.

Walaupun begitu, aku masih sering lihat dia dari kejauhan. Kadang pagi-pagi di lorong, kadang di lapangan, kadang cuma beberapa detik pas istirahat. Dan percaya atau nggak, cuma lihat dari jauh aja sudah cukup bikin aku punya alasan buat lebih semangat berangkat sekolah. Aneh? Iya. Tapi emang begitu kenyataannya.

Tapi sekolah kan nggak cuma soal perasaan diam-diam sama seseorang yang bahkan nggak tahu kita suka lihat dia. Hidupku mulai penuh sama hal-hal baru: teman-teman baru yang lambat laun jadi deket, cerita-cerita lucu, kerja kelompok, ribut bareng, makan bareng. SMA perlahan nggak semenakutkan itu lagi.


Sampai akhirnya aku masuk Passus. Passus inilah yang bener-bener ngerubah aku. Dari kelas X sampai XII aku bertahan di sana. Meski capek, panas, kadang bikin nangis, tapi anehnya… Passus selalu berhasil jadi tempat yang bikin aku balik lagi dan balik lagi.

Di sana aku belajar banyak hal: disiplin, kerja sama, ngontrol emosi, mental kuat, tanggung jawab dan hal-hal yang nggak diajarin di kelas. Salah satu momen yang paling aku ingat banget adalah saat kami harus latihan buat lomba. Latihan itu bukan yang biasa. Bener-bener keras, lama, dan penuh kritikan dari pelatih. Sampai akhirnya kami harus nginep di sekolah buat persiapan.

Bayangin aja: malam dingin, badan capek, mata ngantuk, tapi kami tetap latihan baris-berbaris, variasi, formasi… sampai benar-benar larut. Abis itu tidur bareng temen-temen di kelas. Lampu udah mati, tapi suara suara kita ngga berhenti. Ada yang cerita receh, ada yang curhat, ada yang ketawa pelan-pelan biar nggak kedengeran pelatih,ada juga yang main handphone. Sampai akhirnya satu persatu dari kami ketiduran. Paginya? Ujian mental lagi. Kami harus mandi subuh-subuh di sekolah. Airnya? Jangan ditanya. Dingin banget. Sampai-sampai tiap siraman air rasanya kayak dilempar es batu. Tapi justru itu yang jadi momen paling lucu dan paling aku ingat. Kami saling ngeluh karena kedinginan, saling minjem barang sabun, sampo, odol pokoknya semua hal kecil yang kalau diingat sekarang malah jadi hangat banget. Dan di balik semua perjalanan itu, ada satu sosok yang selalu ada buat kami. Siapa ya?iya pelatih. Pelatih kami lumayan tegas,kritiknya juga bikin kita sadar. Kalau dia lagi serius, suaranya bisa bikin kami langsung lurus,tegap, dan kadang nggak berkedip. Instruksinya jelas, tatapannya bikin siapa pun mau nggak mau langsung fokus. Tapi yang aneh adalah… dia justru paling sering bikin kami ketawa. Kadang cara dia marah malah lucu, kadang dia ngomong hal-hal random di tengah latihan serius, kadang dia salah dengan sesuatu terus kesel sendiri, dan kami yang lihat malah ngakak. Pelatih itu paket komplit: tegas, galak kadang-kadang, tapi hatinya lembut banget. Yang paling bikin kami respect adalah perhatiannya. Meski dia sibuk kuliah, dia selalu nyempetin waktu buat kami. Kalau kami latihan malam, dia pastiin kami aman, nggak ada yang pulang sendiri, nggak ada yang keteteran. Kalau ada yang sakit, dia langsung nyuruh istirahat, nggak boleh maksa. Kalau semangat kami turun, dia selalu punya cara buat bikin kami termotivasi lagi.

Kadang cuma lewat chat pendek,

“Istirahat dulu, jangan maksa.”

atau

“kalian bisa, jangan ragu.” dan itu cukup buat kami ngerasa dianggap.

Hari lomba akhirnya datang. Semua orang tegang, tapi pelatih justru terlihat paling tenang. Katanya, “Kalau kalian tegang,fokus kalian akan buyar,jadi tenang.”


Pas pengumuman pemenang… jantung kami rasanya hampir keluar. Dan ketika nama sekolah kami dipanggil sebagai salah satu pemenang bukan cuma menang kecil, tapi bawa pulang piala lumayan besar, ekspresi pelatih langsung berubah total. Dari yang tadinya sok tenang, dia malah senyum lebar, matanya berkaca-kaca tapi berbinar. Momen itu… nggak akan pernah aku lupain. Semua capek, semua kedinginan mandi subuh, semua latihan malam yang bikin suara serak, semua rasa insecure karena kostum kurang, semua takut kalah, semuanya terbayar lunas. Yang paling membekas adalah rasa bangganya pelatih ke kami. Bukan cuma karena kami menang, tapi karena kami berjuang bareng-bareng. Karena dia percaya sama kami bahkan saat kami sendiri ragu. Dan dari semua itu, aku belajar satu hal: SMA bukan cuma soal pelajaran di kelas. SMA adalah tentang orang-orang yang hadir, memberi warna, dan meninggalkan jejak yang nggak bakal hilang. Tentang tawa, perjuangan, ketakutan yang akhirnya menghilang, keberanian yang tumbuh tiba-tiba, perasaan diam-diam buat seseorang yang nggak kita sangka, dan kebersamaan yang nggak bisa diganti apa pun. Dari anak pemalu yang tiap hari pengen cepat pulang, aku pelan-pelan berubah jadi seseorang yang justru kangen semua itu.

Kangen suasana kelas, kangen latihan Passus, kangen teman-teman, kangen deg-degan tiap lihat seseorang dari jauh, kangen semuanya tanpa terkecuali.


Dan jujur…

aku nggak akan ganti pengalaman itu dengan apa pun.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari MPLS ke KTI

Annyeong, Elisa di sini. Diri ini nyangka ga nyangka sih bisa sampai di titik dimana era sma nya mau abis. Disini aku mau nyeritain 3 tahun perjalanan masa-masa di S1CIKAL ini atau kalo orang-orang bilang mah era putih abu. Balik pada awal pas aku keterima di sman, aku bingung buanget, inget waktu di bagi ruangan, aku di ruang 8 yang dimana ga ada satupun orang yang aku kenal. Setelah 3 atau 5 hari selesai dengan ruang 8, akhirnya di pecah juga.  Pas denger ruangan di pecah, rasanya kayak dar der dor karna udah tau, pasti ruangan baru ini bakalan jadi kelas tetap. Dan.. Ternyata bener, waktu itu pembagian nya ada di tiap-tiap pintu kelas 11 dan data pembagian kelas keluar juga di grup ruangan sebelumnya, pas dibuka aku di posisi X-F dengan orang yang aku kenal lumayan banyak. Ada Widia, temen sd yang dulunya pendiem?, Kanaia, temen ngaji yang selalu jadi musuh, Della dan Agi, dari 6 tahun sd 2 tahun smp sampai sekarang selalu sekelas. Dan juga ada temen ruangan sebelumnya, Risma da...

Campuran Es Buah Bernama Kelas Kita

Pada suatu hari saya telah lulus SMP sampai orang tua meneruskan saya ke Sekolah SMAN 1 Cikalongwetan ini, lalu saya daftar ke SMAN I Cikalongwetan bersama mamah saya dari pagi sampai Jelang malam, sampai menunggu pengumuman diterima atau tidaknya, sampailah Alhamdulillah saya diterima disekolah SMAN 1 CIKALONG WETAN. Awal itu ada di hari pertama MPLS. Hari dimana aku datang dengan seragam putih biru yang masih bagus, sepatu masih cukup bagus , dan jujur… aku masih bingung harus ngobrol sama siapa disana.Dulu rasanya kayak masuk dunia baru yang gede banget dan penuh sama orang asing. Waktu itu rasanya deg-degan banget takut nggak punya teman, takut salah masuk kelas, takut disuruh perkenalan tapi suaraku gemeteran.Tapi ternyata hari berjalan lebih pelan dari yang aku bayangin. Aku mulai kenal beberapa wajah, beberapa nama, beberapa senyum kecil yang bikin aku ngerasa, “Oke, mungkin aku bakal baik-baik aja di sini.” Di hari-hari MPLS, aku inget banget gimana panasnya lapangan, gimana ki...